Ketika Kamera Mengguncang Pelukis & AI Melakukannya Lagi

Lukmannil Hakim

Easterfeeds, Jakarta  –  Pada awal abad ke-19, dunia seni mengalami guncangan besar. Bukan karena perang atau revolusi politik, tapi karena kemunculan satu benda kecil bernama kamera. Alat ini mampu menangkap wajah, cahaya, dan objek dengan presisi luar biasa. Tanpa kuas, tanpa cat, tanpa perlu duduk berjam-jam. Bagi banyak pelukis saat itu, kehadiran fotografi adalah mimpi buruk. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari cara menggambarkan anatomi, bayangan, dan perspektif, hanya untuk melihat bahwa semua itu bisa digantikan oleh alat mekanik. Tidak heran kalau banyak seniman konservatif menyambut fotografi dengan ketakutan dan penolakan.

“Fotografi Bukan Seni!”

THE PHOTOGRAPHER Painting by Patrick Bornemann | Saatchi Art
THE PHOTOGRAPHER Painting oleh Patrick Bornemann.

Itulah seruan keras yang digaungkan oleh banyak pelukis akademik pada masa itu. Mereka percaya bahwa seni sejati harus datang dari tangan manusia. Kamera? Hanya alat teknis. Tidak punya jiwa. Tidak punya intuisi. Tidak punya ekspresi. Selain itu, para pelukis juga mulai kehilangan sumber penghasilan. Potret keluarga bangsawan yang dulu dipesan dengan harga mahal, kini bisa digantikan oleh sesi foto yang jauh lebih murah dan cepat. Beberapa bahkan mengklaim bahwa fotografi akan “membunuh seni”. Namun waktu membuktikan sebaliknya.

Alih-alih mematikan seni, fotografi justru membuka pintu kebebasan. Para pelukis tak lagi terbebani oleh tuntutan menggambar dengan akurasi 100%. Mereka mulai mengeksplorasi hal-hal yang tidak bisa dilakukan kamera: cahaya yang berubah-ubah, emosi yang tidak terlihat, atau suasana yang hanya bisa dirasakan. Lahirlah gerakan Impresionisme dengan Monet dan Renoir di garis depan. Lalu hadir Kubisme dari Picasso, dan Ekspresionisme dari Van Gogh dan kawan-kawan. Semua gaya itu hadir karena lukisan tidak lagi terikat oleh kenyataan visual yang bisa ditangkap kamera.

Fast Forward ke Kondisi Sekarang

Artificial neural network painting. Artificial intelligence painting Lunar cat in Vincent Van Gogh impressionist art style. Mixed Media by Denis Agati | Saatchi Art
Artificial intelligence painting Lunar cat in Vincent Van Gogh impressionist art style oleh Denis Agati.

Sekarang, kita hidup di momen yang sangat mirip. Hanya saja bukan kamera yang jadi “ancaman”, tapi kecerdasan buatan (AI) khususnya AI image generation seperti DALL·E, Midjourney, atau Stable Diffusion. Bahkan, sekarang image generation dari ChatGPT-4o mampu menghasilkan gambar yang detail dengan kualitas gambar yang tajam.

Keluhan di internet? Kurang lebih sama:

“AI itu bukan seni. Itu cuma mesin yang nyontek.”

“Seniman akan kehilangan pekerjaan.”

“Nanti semua orang tinggal ketik dan nggak perlu belajar gambar lagi.”

Mungkin terdengar modern, tapi secara esensial, ini adalah reaksi lama yang berulang dengan wajah baru. Seperti halnya kamera dulu, AI sekarang menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Tantangannya adalah bagaimana seniman tetap relevan. Peluangnya adalah bagaimana AI bisa menjadi alat bantu, bukan pengganti. Hari ini, banyak ilustrator sudah mulai menggunakan AI sebagai referensi, eksplorasi moodboard, atau bahkan untuk pitching ide ke klien. Seperti pelukis zaman dulu yang diam-diam memakai kamera lucida untuk membantu sketsa, para seniman zaman ini pun harusnya bisa pelan-pelan belajar berdamai dengan teknologi.

Daripada takut, mungkin ini saatnya bertanya kayak pelukis zaman dulu:

“Kalau AI bisa bikin karya cepat, apa hal unik yang cuma gue yang bisa ciptain?”

Jawabannya bisa jadi gaya kamu sendiri, cerita kamu sendiri, atau interpretasi kamu terhadap dunia. Dan siapa tahu, justru dari momen ini akan lahir era baru seni yang lebih bebas dan berani.

Pada akhirnya, yang membedakan manusia dan mesin bukan pada kemampuannya menciptakan bentuk, tapi kemampuannya merasakan, menafsirkan, dan menyampaikan pesan. AI bisa menggambar, tapi tidak bisa menyesali masa lalu. Tidak bisa menyampaikan kenangan masa kecil. Tidak bisa menciptakan simbol yang lahir dari luka, cinta, atau harapan. Justru disanalah kekuatan seniman manusia: menciptakan makna.

Saat kamera muncul, banyak yang bilang “seni akan mati”. Tapi justru dari sana lahir gerakan seni paling berani sepanjang sejarah. Mungkin sekarang AI terasa seperti “musuh” bagi sebagian seniman. Tapi jika kita belajar dari sejarah, bisa jadi AI adalah momen kebebasan baru, yang memungkinkan seniman berhenti menggambar apa yang terlihat dan mulai menggambar apa yang terasa.

Karena seni, pada akhirnya, bukan soal alat, tapi soal niat, jiwa, dan cara kita melihat dunia.

1 thought on “Ketika Kamera Mengguncang Pelukis & AI Melakukannya Lagi”

  1. Daripada takut sama AI, mending diajak buat nyari apa yang bikin karya kita unik. Teknologi baru nggak selalu matiin seni, malah bisa jadi peluang. Intinya, AI itu cuma alat, yang bikin seni tetap hidup ya jiwa dan pengalaman manusia tetap harus ada di tangan seniman. Keren bang pesannya👍

    Reply

Leave a Comment